PERSIB Bandung selalu punya tempat istimewa di hati bolamania
nasional. Kekaguman dan kecintaan mereka, para penggila sepak bola
nasional, menyebar ke seantero negeri. Melewati batas wilayah Bandung dan Jawa Barat,
tempat jagoan Bandung dibidani. Kemegahan sepak bolanya tidak mampu
ditepis. Selalu memanggil dan menggali perhatian para pecandu sepak bola
nasional untuk tidak sekejap pun melepaskan perhatiannya pada sosok
Persib Bandung.
Tak peduli prestasinya tengah tenggelam, pesona Pangeran Biru julukan
lain Persib Bandung– tetap membius bolamania nasional. Stadion
Siliwangi, Bandung, markas keramatnya, tidak pernah sepi dari dendang
riang penggilanya. Bobotoh setianya tetap saja tumplek dan menyatu di
sana. Tidak sekalipun mereka pergi menjauh. Apalagi berpaling hati.
Tetap setia mendampingi timnya mesti air mata terus mengucur.
Yang paling fenomenal Stadion Utama Senayan, Jakarta, selalu penuh
oleh ribuan pendukung Persib dan bolamania nasional, jika jagoan Bandung
menembus babak final Divisi Perserikatan dan Divisi Utama Liga
Indonesia. Menjadi aset penyelenggara pertandingan yang paling
menggiurkan adalah ikon yang tidak terbantahkan. Tidak terhapus oleh
zaman.
“Sungguh. Kalau siaran langsung sepak bola di Indonesia tidak dibagi
rata antar stasiun televisi nasional, banyak stasiun yang ingin membeli
hak siar pertandingan Persib,” jelas Asdedi, salah seorang produser
televisi ANTV, sebelum hak siar jatuh ke stasiun televisi tersebut.
Tak aneh serombongan pemain nasional atau mantan nasional, bahkan
yang baru muncul sekalipun di pentas sepak bola nasional, berlomba-lomba
melamar untuk melebur ke tim “Maung Bandung”. Mereka percaya, namanya
bakal cepat berkibar, dikenal banyak orang dan kembali dilirik tim
nasional karena bisa mendarat di tim dengan reputasi besar di pentas
sepak bola nasional.
”Persib adalah tim besar. Permainannya cantik. Pendukungnya luar
biasa. Nama besarnya di pentas sepak bola nasional adalah garansi bagi
kami untuk bisa menembus level nasional. Bermain di Persib adalah
kesempatan besar mengembangkan karier sepak bola,” begitu ungkapan umum
yang biasa dilontarkan pemain pendatang ketika pertama kali meleburkan
dirinya dengan tim pujaan masyarakat Bandung dan Jawa Barat.
Back on track, begitulah fenomena yang menyertai langkah para pemain
di tim Persib. Kebersamaan mereka menyemburkan hasrat berprestasi
tinggi. Menggelorakan asa dan menjulangkan harkat diri sebagai pemain
sepak bola jempolan yang beredar di pentas nasional. Hingga masa edarnya
di Divisi Utama semakin panjang. Yang pada gilirannya menjadi salah
satu legenda di semua hajatan kompetisi yang diakui PSSI.
“Saya memang banyak memperkuat klub yang beredar di Liga Indonesia.
Tapi terasa tidak lengkap karier sepak bola saya karena tidak bisa
menjadi bagian Persib. Padahal, saya begitu bernafsu ingin membela
Persib setelah sukses bersama Bandung Raya. Entah kenapa manajemen tim
Persib tidak sekalipun mau memalingkan pilihan pada diri saya,” sembur
Kisito Piere Olinga ‘Kopa’ Atangana.
Besarnya animo pemain berlabuh di lambung “Maung Bandung” membuktikan
Persib tim yang tak pernah terpinggirkan. Selalu jadi dambaan dan fokus
utama pengembangan karier sepak bolanya. Mengenakan kaus kebesaran
“Maung Bandung” praktis gengsi pemain melambung tinggi. Sekejap saja,
mereka bisa jadi selebritis. Diburu tanda tangannya. Dimintakan wajahnya
untuk menghiasi berbagai layar kaca. Baik itu di stasiun televisi lokal
atau di telepon genggam berfasilitas kamera yang selalu dibawa
bobotoh-nya.
Selain karena Persib sudah menjadi ikon Jawa Barat, iklim sepak
bolanya penuh warna. Benar-benar colourfull. Meriah sejak pembentukan
tim hingga kompetisi usai digelar. Sejarah besarnya di pentas sepak bola
nasional, dan fanatisme pendukungnya luar biasa adalah magnet yang
tidak bisa dielakan begitu saja oleh pecandu bola nasional.
“Atmosfir sepak bola di Bandung benar-benar jempolan. Saya begitu
kagum melihat dukungan penonton yang hebat dan luar biasa. Tidak hanya
di partai sesungguhnya di ajang kompetisi, di partai uji coba pun
penonton melimpah dan membludak hingga pinggir lapangan. Hebat,” puji
Redouane Barkaoui, tukang gedor “Maung Bandung” asal Maroko.
“Atmosfir sepak bola di Bandung memang tiada duanya. Hasrat bobotoh
mendukung timnya patut diapresiasi dengan prestasi membanggakan.
Dukungan bobotoh yang tidak pernah surut adalah motivator utama saya
dalam mengibarkan sepak bola prestasi bersama Persib”, sambung Christian
Bekamenga Bekamengo, pemain asing termahal di Persib .
Perhatian bolamania nasional kepada Persib memang tidak pernah putus.
Tradisi juara yang melekat di dirinya memungkinkan Persib terus menjadi
bagian tidak terpisahkan dari masyarakat sepak bola Indonesia. Apa yang
dibuat dan dihamparkan Persib, selalu jadi tolak ukur persepak bolaan
nasional. Geliat Persib pasti mengundang orang untuk menengok. Dan
memberikan perhatian lebih untuk lebih dalam menyimak dapur pacu jagoan
Bandung.
Tak aneh, dalam setiap hajatan sepak bola tingkat nasional, kehadiran
jagoan Bandung selalu mendapat perhatian lebih dari bolamania nasional.
Namanya selalu disebut-sebut jadi kandidat kuat mengalungkan gelar
juara pada setiap hajatan sepak bola nasional yang diikutinya. Buntutnya
lahirlah stigma yang berlaku umum di jagad sepak bola nasional.
Apa? Ini : Lebih baik kalah dari tim lain ketimbang dari Persib.
Sukses mengalahkan Persib adalah kemenangan luar biasa. Bahkan nilai
minimal yang dipetik tim lawan saat merumput di Stadion Siliwangi, kerap
diidentikan dengan sebuah kemenangan. Melulu karena, Persib bukan tim
sembarangan. Kualitas sepak bolanya mumpuni. Orkestra sepak bolanya,
indah dan menghayutkan lawan-lawannya. Memberi kabar buruk pada lawan
adalah kabisanya.
Indikatornya kemeriahan prestasi yang mengitari Persib Bandung
sepanjang partisipasinya di pentas sepak bola nasional. Untuk pentas
Divisi Utama Perserikatan misalnya, Persib mengalungi gelar juara
sebanyak lima kali. Gelar itu disunting jagoan Bandung tahun 1937, 1961, 1986, 1990, 1994. Bahkan kompetisi Liga Indonesia perdana 1994/95
menjadi milik Persib, usai mematahkan perlawanan tim elit Petro Kimia
Putra 1-0 di partai final lewat gol semata wayang yang disunting bomber
Sutiono Lamso.
Tentu, bukan hanya event itu yang mewarnai perjalanan prestasi “Maung
Bandung”. Masih banyak pentas lainnya yang memberi suka bagi penggila
fanatiknya. Juara Surya Cup (Surabaya) 1978
digapai usai mematahkan perlawanan Persija 1-0. Gol emas itu
disumbangkan Max Timesela. Dua tahun sebelumnya, gelar yang sama juga
dipetik jagoan Bandung. Yusuf Cup 1975 dan 1977 juga dipuncaki anak-anak Bandung.
Bahkan, usai jadi runner-up Yusuf Cup VIII/1979, setahun kemudian
Persib mencuri gelar juara di turnamen kebanggaan masyarakat Ujung
Pandang. Masih pada tahun yang sama, Piala Gubernur Sumatera Selatan
juga masuk ke lemari prestasi Persib meski jagoan Bandung hanya
nangkring di peringkat ketiga.
“Sepanjang ingatan saya, hanya turnamen Marah Halim Cup (Medan) yang
tidak pernah bisa di raih Persib. Tapi di turnamen lainnya yang tersebar
di banyak daerah, macam Yusuf Cup (Makasar) dan Tugu Muda (Semarang),
Persib sempat tampil sebagai juara,” cerita Encas Tonif, mantan pemain
Persib era 70-an/80-an.
Di ajang regional, pesona Persib pun merona. Tahun 1986,
usai Persib memuncaki kompetisi Perserikatan Divisi Utama, Piala Sultan
Khasanah Bolkiah berhasil dibawa pulang ke Bumi Pajajaran. Di partai
final, Persib yang mendapat tenaga tambahan dari libero terbaik
Indonesia saat itu Herry Kiswanto, mengalahkan tim nasional Malaysia.
Gol kemenangan jagoan Bandung dilesakan Yusuf Bachtiar, yang kemudian
melegenda sebagai dirijen utama Persib di Liga Indonesia.
“Kita bisa menjadi juara di Piala Sultan Hasanal Bolkiah karena
Persib memang sedang di puncak prestasi. Dan memenuhi pra syarat sebagai
tim juara. Di semua lini permainan tidak ada sama sekali celah yang
bisa mengandaskan impian kami dalam mengibarkan sepak bola prestasi.
Teknis dan non teknis jempolan. Tidak ada sama sekali ganjalan untuk
menjadi the champion. Juara memang tinggal menunggu waktu saja,” ungkap
Bambang Sukowiyono.
Di ajang Piala Champion Asia 1995 aksi anak-anak Bandung pun
gilang-gemilang. Tim besutan Indra M. Thohir membukakan mata sepak bola
internasional. Bermodalkan dua kemenangan atas Bangkok Bank (Thailand)
dan Pasay City (Philipina) pesaingnya di babak awal Persib yang datang
dengan status tim amatir, di antara para raksasa Asia dengan sepak bola
profesionalnya, mampu merangsek hingga babak perempatfinal wilayah Timur
yang digelar di Stadion Siliwangi.
Sayang, tim pujaan masyarakat Tatar Pasundan tidak mampu berbuat
lebih banyak lagi. Langkah raksasa mereka pun terhenti sampai di situ,
setelah Verdy Kawasaki (Jepang) memberi luka 1-3, ditundukan Thai
Farmers Bank (Thailand) 2-3, dan dihempang Ilhwa Chunwa (Korea Selatan)
1-4. Kendati begitu, Persib masih bisa tersenyum. Karena Indra M Thohir,
sang sutradara terpilih sebagai pelatih terbaik Asia versi AFC
(Asosiasi Sepak bola Asia).
“Kalah dan terhenti di babak perempatfinal Wilayah Timur memang sudah
diprediksi. Lawan yang kita hadapi, kualitasnya jauh di atas
lawan-lawan Persib di babak penyisihan sebelumnya. Tapi, apapun adanya,
langkah Persib sudah terekam dalam sejarah perhelatan Piala Champion
Asia. Tim amatir tapi mentalnya sangat profesional, sulit dilahirkan
lagi dalam waktu yang relatif pendek,” jelas Asep Kustiana, yang merobek
gawang Chunwa lewat titik penalti.
Secara resmi, Persatuan sepak bola Indonesia Bandung (Persib) berdiri
pada tanggal 14 Maret 1933. Menurut berbagai catatan, yang menjadi
embrio Persib adalah sebuah klub yang dijadikan alat perjuangan kaum
nasionalis bernama Bandoeng Inlandsche Voetball Bond (BIVB). Klub yang
didirikan sekitar tahun 1923 ini, menjadi salah satu klub yang turut mendirikan Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930 di Yogyakarta. Tercatat, ketika itu BIVB dipimpin oleh seorang tokoh bernama Mr. Syamsoedin.
Berdasarkan catatan yang ada, pada tahun-tahun berikutnya, BIVB
dipimpin oleh R. Atot, putra tokoh pejuang wanita Dewi Sartika. Pada
saat itu, yang menjadi kandang BIVB adalah di Lapangan Tegallega, di
depan tribun pacuan kuda. Ketika itu BIVB juga sudah mewakili Bandung
dalam kejuaraan nasional. Tercatat BIVB pernah menjadi runner-up
kejuaraan nasional pada tahun 1933
yang digelar di Surabaya, di bawah VIJ Jakarta. Prestasi serupa diraih
BIVB pada kompetisi tahun berikutnya di Bandung. Namun, dalam beberapa
tahun kemudian, BIVB menghilang dari peredaran.
Pada awal dekade 30-an,
di Bandung juga muncul dua perkumpulan sepak bola lain yaitu Persatuan
sepak bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetbal Bond (NVB).
Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi
dan muncullah perkumpulan sepak bola baru bernama Persib. Anwar St.
Pamoentjak tercatat sebagai ketua umum pertamanya. Klub-klub yang
menjadi anggota Persib ketika itu adalah SIAP, Soenda, Singgalang,
Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA dan Merapi.
Selain Persib, pada saat itu, di Bandung ada juga perkumpulan sepak
bola milik orang-orang Belanda bernama Voetbal Bond Bandung &
Omstreken (VBBO). Karena perkumpulan ini lebih banyak memainkan
pertandingannya di Lapangan UNI dan SIDOLIG yang berada di pusat kota,
orang-orang VBBO selalu memandang Persib sebagai perkumpulan kelas dua.
Pasalnya, ketika itu Persib memang memainkan
pertandingan-pertandingannya di pinggiran kota seperti Tegallega dan
Ciroyom. Karena berada di tengah kota, warga kota Bandung pun lebih
senang menyaksikan pertandingan VBBO.
Tapi, menjelang pendudukan Jepang, Persib menjadi satu-satunya
perkumpulan sepak bola di Bandung, karena VBBO membubarkan diri. Saat
itu, VBBO juga menyerahkan tiga lapangan yang biasa dipakainya yaitu
UNI, SIDOLIG dan SPARTA (kini Stadion Siliwangi) kepada Persib. Selain
itu, beberapa klub anggota VBBO seperti UNI dan SIDOLIG juga bergabung
dengan Persib.
Sayang, pada masa pendudukan Jepang, seluruh kegiatan persepak bolaan
di tanar air, tak terkecuali Bandung dihentikan dan perkumpulannya
dibredel. Persib pun mengalami hal yang sama, karena pemerintahan
kolonial Jepang juga mendirikan sebuah perkumpulan yang memayungi
seluruh kegiatan olahraga bernama Rengo Tai Iku Kai.
Kendati tidak eksis, namun semangat Persib tetap hidup di hati
tokoh-tokoh sepak bola dan pejuang Bandung ketika itu. Tidak heran,
ketika Indonesia merdeka dan Jepang terusir dari tanah air, Persib
langsung kembali menunjukkan eksistensinya. Namun, karena situasi dan
kondisi saat itu, Persib terpaksa didirikan kembali di Tasikmalaya,
Sumedang dan Yogyakarta. Pasalnya, para tokoh Persib yang kebanyakan
pejuang dan prajurit Siliwangi ketika itu harus meninggalkan Bandung
untuk hijrah ke Yogyakarta. Baru pada tahun 1948,
Persib bisa dihidupkan kembali di Bandung oleh beberapa tokoh di
antaranya dr. Musa, H. Alexa, Rd. Sugeng dan A. Munadi yang kemudian
ditunjuk sebagai ketua.
Kendati demikian, kehadiran pemerintah kolonial Belanda yang masuk
dengan mendompleng tentara sekutu (NICA) kembali merongrong eksistensi
Persib. Pemerintah kolonial Belanda kembali ingin menghidupkan VBBO.
Namun, upaya Belanda itu kembali gagal dan Persib tetap menjadi
satu-satunya perkumpulan sepak bola di Bandung hingga saat ini.
sumber wikipedia.com
Saturday, August 6, 2016
Persib Bandung
0 Response to " "
Post a Comment